TEMPO.CO , Makassar: “Penemuan tulisan merupakan puncak kebudayaan dari sebuah peradaban manusia. Makanya, bangsa yang memiliki tulisan adalah bangsa yang besar.” Demikian ditulis Florian Coulmas dalam bukunya yang berjudul The Writing System of the World. Tak banyak di antara jutaan suku yang ada di bumi menciptakan tulisan. Dari 520 lebih suku bangsa yang ada di Indonesia, suku Bugis-Makassar termasuk yang memiliki aksara Lontaraq.
Naskah I La Galigo adalah salah satu karya sastra yang ditulis dengan aksara Lontaraq—warisan budaya dunia yang telah diakui oleh UNESCO, badan dunia yang menangani masalah pendidikan, keilmuan, dan kebudayaan. Karya ini terdiri atas 300 ribu bait, salah satu karya sastra terpanjang, melebihi karya fenomenal Mahabharata dan Ramayana dari India yang hanya sekitar 150 ribu bait. (Baca juga: I La Galigo, Mitologi Sarat Perdamaian)
Baca Juga:
Sayang, keberadaan Lontaraq nyaris tak mendapat perhatian. Berdasarkan hasil seminar internasional kebudayaan tentang huruf-huruf yang mengalami ancaman kepunahan di Asia Tenggara, Februari lalu, Lontaraq dinilai tak akan bertahan lama. “Diprediksi, 20 tahun ke depan Lontaraq tak lagi dikenal,” ujar Profesor Nurhayati Rahman, guru besar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, saat ditemui di kediamannya, Selasa dua pekan lalu, 9 September 2014. “Lontaraq akan terpelihara ketika masyarakat masih sadar dengan kebudayaannya.”
Inilah yang dilakukan Eka Wulandari. Bersama teman-teman komunitasnya di katakerja, Eka membuka kelas aksara Lontaraq setiap Sabtu. “Agar masyarakat, khususnya generasi muda, tidak lupa dengan tulisan lontaraq,” ucapnya, Sabtu lalu.